Sebagai kota yang kental akan budaya, Yogyakarta memiliki daya jual yang tinggi di bidang pariwisata. Tak dapat dipungkiri, berbagai tempat, mulai dari sudut kota sampai wisata alamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang datang berkunjung. Hal tersebut menjadi salah satu alasan orang-orang memilih Yogyakarta sebagai tujuan wisata. Bentuk wisata yang dapat mendongkrak perekonomian kota gudeg ini, salah satunya adalah Meeting Incentive Conference Exhibition (MICE). Bisnis yang dikemas dalam bentuk wisata membuat MICE jarang diketahui, tetapi gaungnya memberi pengaruh besar dan beriak bagi khalayak.
Meeting Incentive Conference Exhibition (MICE) merupakan bentuk kegiatan dalam kepariwisataan yang direncanakan oleh suatu kelompok tertentu dengan tujuan yang sama. Sesuai namanya, kegiatan tersebut terdiri dari meeting yang erat hubungannya dengan rapat, incentive yaitu bentuk penghargaan perusahaan kepada karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas karyawan, conference atau konferensi, dan exhibition sebagai sarana promosi atau berbagi informasi. MICE sendiri dapat dikemas sedemikian rupa agar menarik perhatian pesertanya, contohnya berupa paket perjalanan bagi perusahaan, konser, karnaval, bahkan beach run.
“MICE disebut juga bisnis meeting dalam pariwisata, berbeda dengan leisure, leisure lebih cocok dengan individu yang berlibur sendiri,” jelas Ghiffari, salah satu dosen D-3 Kepariwisataan Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurut Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), MICE menyumbang 70% pendapatan dari sektor pariwisata dibandingkan dengan leisure yang hanya 30%. Hal itu dapat terjadi karena MICE memiliki keuntungan tersendiri, antara lain pelaksanaannya dapat dilakukan setiap saat dan biaya ditanggung oleh pihak perusahaan yang cenderung memberikan bujet lebih besar daripada leisure yang menggunakan biaya pribadi. “Apabila dilihat dari sisi negatif, seperti perusakan tempat dan cagar budaya oleh wisatawan, MICE memiliki kemungkinan yang lebih kecil karena jadwal yang terstruktur bagi pesertanya,” imbuh Ghiffari, meyakinkan bahwa peranan MICE sangat penting dan berdaya guna.
Penetapan Yogyakarta sebagai salah satu dari delapan kota destinasi MICE di Indonesia oleh Kementerian Pariwisata, tentunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya. Bersama delapan kota lain yaitu Bali, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Lombok, dan Makassar, Yogyakarta berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai kota berstandar MICE. Sampai September 2017, Yogyakarta menerima hingga 14.000 acara MICE dengan transaksi mencapai 69 miliar rupiah. Angka tersebut merujuk pada hasil survei yang dilakukan Dinas Pariwisata DIY pada tahun 2017.
Melihat banyaknya acara MICE di Yogyakarta, bisa dikatakan bahwa MICE secara tidak langsung merupakan pendongkrak roda perekonomian daerah karena memengaruhi industri-industri di daerah sekitarnya.
Misalnya, ketika terdapat perusahaan minyak yang memberikan incentive kepada para karyawannya, tentu para karyawan tersebut sudah diberi uang saku dan bujet tertentu. Mereka tidak hanya melaksanakan meeting, tetapi juga leisure. Meeting sendiri dapat dilaksanakan di ballroom sebuah hotel sehingga menambah pendapatan pada hotel tersebut. Lalu, ketika melakukan leisure ke daerah wisata pedesaan, mereka pasti tidak segan untuk membeli cinderamata atau oleh-oleh. Hal ini dapat memengaruhi pendapatan bagi pengembangan wisata daerah lokal. Skema dari pengaruh kehadiran MICE tersebut dapat disebut juga triple down effect.
Tidak mau menyia-nyiakan peluang, banyak pengembang membangun hotel dengan hall atau ballroom yang sedemikan besar sebagai pemenuhan kepentingan MICE. “Untuk pembangunan ballroom sendiri dimulai pada tahun 2014,” jelas Ilus Ruswati, Hotel Manager Hotel Tentrem. Walaupun Grand Opening Hotel Tentrem sendiri terhitung sejak Januari 2013, melihat potensi MICE di Yogyakarta pihaknya juga tidak ingin melepaskan peluang. Hal ini terwujud dari pembangunan ballroom yang diimbangi sesudah pembangunan hotel. “MICE menjadi pasar yang sangat diharapkan, tentunya di setiap hotel. Hal ini berdampak pada pemesanan hunian kamar. Namun, efek bagus MICE menurut pandangan kami selaku pengelola hotel berasal dari food and beverage dari pihak pemesan MICE itu sendiri,” Ilus Ruswati menyimpulkan.
Ada kendala serius yang harus diperhatikan pemerintah terkait pelaksanaan MICE di Yogyakarta, yaitu infrastruktur. Baik Ghiffari dari kalangan akademisi maupun Ilus Ruswati pihak praktisi perhotelan, menyetujui bahwa infrastuktur menjadi sumber pengembangan MICE yang vital. Hal ini tercermin dari data yang disampaikan Kepala Dinas Pariwisata DIY saat sosialisasi INACEB (Indonesia Convention and Exhibition Bureau) bahwa hanya terdapat tujuh acara berskala internasional yang tercatat selama tahun 2016. “Yogyakarta harusnya, banyak market dari Eropa, melihat budaya Yogyakarta yang masih kental pada adat kesultanan, namun market ini belum berkembang, karena untuk menuju Yogyakarta dari Eropa harus memakan waktu berjam-jam,” terang Ilus Ruswati.
MICE sebagai tonggak pariwisata di Yogyakarta semestinya mendapat perhatian lebih dari pihak-pihak terkait. Salah satu perhatiannya dapat dilakukan dengan memperbaiki infrastuktur yang ada. Jika hal tersebut terus dilakukan, bukan tidak mungkin Yogyakarta akan dikenal luas dan kegiatan berskala internasional akan dengan mudah terlaksana kembali. “Harapannya dinas membuka kembali tourism board dari setiap negara sebagai sarana promosi efektif. Selain itu, kami optimis dengan bandara baru dan pembenahan infrastruktur akan dapat meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta,” pungkas Ilus Ruswati.
Komentar
Posting Komentar